Menjelang pemilu muncul gejala kerakusan baru. Yakni ingin jadi presiden. Tak di dalam partai, yang memang demikian adanya, bahkan dari luar gelanggang partai pun bertumbuhan tokoh-tokoh yang siap jadi presiden. Kalau tidak terang-terangan tampil di ruang publik, diam-diam bersafari ke sana ke mari untuk membuka pasar-politik. Rupanya politisi kini bukan hanya di dalam partai, di luar pun berseliweran politisi non-partai. Mereka sama-sama siap menjadi presiden atau menjadikan seseorang menjadi presiden.
Padahal persoalan menjadi presiden bukan sekadar siap atau tidak siap, tetapi yang paling bermakna adalah soal amanat dan kemampuan. Amanat akan membuat sang presiden dapat merawat seluruh beban yang diberikan rakyat kepadanya secara jujur dan bertanggungjawab. Sedangkan kemampuan akan membuat dirinya mampu mengemban amanat itu sebagaimana mestinya.
Amanat saja tidak cukup, sebagaimana kemampuan saja tidaklah memadai, kedua-duanya harus berpadu dalam diri pemimpin bangsa. Hal yang paling merepotkan sekaligus membahayakan ketika dua-duanya tak dimiliki, tiada amanat, tiada pula kemampuan.
Ketika amanat sirna dari nurani pemimpin, maka dia akan membiarkan penyelewengan menjalar ke segenap relung pemerintahan dan ruang publik, bahkan besar kemungkinan dirinya pun terlibat dalam penyelewengan itu.
Korupsi, kolusi, nepotisme, jual beli hukum, pengurasan harta negara, penjualan aset-aset negeri, eksploitasi sumberdaya alam, menelantarkan nasib rakyat, kemewahan, dan seribu satu perusakan dan penyimpangan akan dibiarkan mekar bahkan semakin dimekarkan.
Bahkan kursi kekuasaan pun akan terus dipertahankan dengan sejuta cara yang haram dan subhat sekalipun. Sudah merasa tak amanat, masih juga ingin berkuasa dan meraih kuasa baru.
Ketika kerakusan kuasa dan materi begitu dominan, maka soal amanat dan kemampuan menjadi hal kecil dalam ruang kepala dan batin para elite di negeri ini. Apalah amanat dan kemampuan, yang penting dapat meraih kuasa, yang penting dapat meraup materi.
Itulah watak kerakusan, yang tak membiarkan suara nurani mekar, karena dikalahkan oleh luapan nafsu duniawi. Nafsu kuasa dan harta. Kedudukan sekadar jadi batu loncatan dari ambisi-ambisi bawah sadar dirinya yang tumpah ruah ke segala arah. Sehingga jadilah para elite berebut harta dan kuasa, harta untuk meraih kuasa dan kuasa untuk menambah harta dan akumulasi kuasa berikutnya.
Jika kaum elite di negeri ini mengerti derita anak-anak bangsa di Aceh, Ambon, Poso, Papua, dan di seluruh wilayah Nusantara yang didera krisis berkepanjangan, boleh jadi semakin sedikit yang bersiap diri menjadi presiden dan jabatan-jabatan publik di pemerintahan.
Mereka tentu miris, cemas, dan hilang nyali untuk menjadi pemimpin negeri. Betapa berat amanat dan kemampuan yang harus dikerahkan. Betapa banyak hal yang harus dipertaruhkan, sampai nyawa pun dapat menjadi barang tebusan. Bukan malah bernafsu dan berpesta pora untuk dapat meraih kedudukan yang penuh pertaruhan itu.
Kita berharap, semoga kearifan masih tersisa dalam relung hati dan pikiran para elite bangsa di negeri ini, agar nafsu kerakusan tak merajalela. Jika masih pada berkeinginan untuk menjadi presiden dan meraih jabatan-jabatan publik, bertanyalah pada nurani sendiri dan nurani rakyat.
Untuk dan atas nama apa kekuasaan itu ingin diraih? Bagaimana dan kenapa harus diraih? Mau berbuat apa setelah meraihnya? Bagaimana kalau tak mampu memikulnya setelah kuasa itu diraih? Mengapa begitu menyala-nyala semangat untuk meraih kuasa? Akankah membawa maslahat atau sebaliknya mafsadat untuk bangsa?
Dan berbagai pertanyaan yang memerlukan kejernihan hati dan pikiran untuk mencandranya. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang bernuansa kearifan, yang perlu dicandra oleh siapapun yang menjadi dan ingin menjadi pemimpin bangsa.
Semoga para elite di negeri ini mau berlomba-lomba meraih kearifan, lebih dari sekadar nafsu meraih kuasa. Sumber kearifan itu bertebaran di mana-mana. Raihlah ilmu dan hikmah, demikian titah Allah dalam banyak ayat Alquran, agar manusia meraih kearifan hidup. Sayangnya, kearifan sering menjadi barang yang mudah hilang, ketika kerakusan merajalela dan serba dipuja!
Amanat dan Kemampuan Pemimpin Bangsa